Beranda | Artikel
Tafsir Surat Abasa - Tafsir Juz Amma
Senin, 17 Juni 2019

Tafsir Surat ‘Abasa

Surat ‘Abasa adalah surat yang ke 80 yang artinya bermuka masam. Surat ini adalah surat makiyyah yang diturunkan pada fase mekkah, karenanya isi surat ini juga bercerita tentang hari kiamat yaitu munaqosah (dialog) dengan orang-orang musyrikin yang mengingkari hari kiamat. Namun surat ini diawali dengan teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam.Dengan sebab inilah sebagian orang-orang yang ghuluw terlalu mengkultuskan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, mereka menganggap suatu hal yang baik untuk tidak membaca surat ini, karena isinya yang berupa teguran kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Namun kenyataannya justru isi surat ini meninggikan kemuliaan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam karena telah ditegur langsung oleh Allah Subhanallahu Wata’ala dan beliau tidak segan untuk menyampaikan berita tentang teguran tersebut kepada umatnya.

Allah subhanAllahu wata’ala berfirman:

1. عَبَسَ وَتَوَلَّى

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling”

عَبَسَ dalam istilah bahasa arab adalah menggabungkan antara apa yang ada diantara dua kening (Lisaanul ‘Arob 6/128). Dalam bahasa indonesia dikenal dengan istilah mengerutkan dahi. Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam mengerutkan dahinya bermuka masam dan juga berpaling menolehkan wajahnya melihat ke arah yang lain. Apa yang menyebabkan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam berpaling?Allah SubhanAllahu wata’ala berfirman:

2. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى

“karena seorang buta telah datang (kepadanya)”

Allah Subhanallahu Wata’ala menurunkan ayat ini untuk menegur Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Seluruh ahli tafsir sepakat bahwasanya sebab turunnya ayat ini adalah kisah tentang Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu, seorang sahabat yang buta ketika datang menemui Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Pada saat itu Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam sedang berdakwah kepada orang-orang kafir dan para pembesar Quraish. Datang berbagai macam riwayat tentang nama-nama para pembesar Quraisy tersebut. Sebagian riwayat menyebutkan mereka adalah ‘Utbah bin Robi’ah, Abu Jahl bin Hisyaam, dan al-‘Abbas bin ‘Abdil Muthholib. Sebagian riwayat menyatakan Nabi sedang mendakwahi Umayyah bin Kholaf. Dan riwayat yang lain menunjukan Nabi sedang mendakwahi Ubay bin Kholaf [1]. (lihat riwayat-riwayat tersebut dalam Tafsir At-Thobari 24/103-104) Nabi selalu semangat agar para pembesar Quraisy ini masuk Islam.

Patut diketahui bahwa mendakwahi para pembesar adalah metode dakwah yang benar. Karena jika para pembesar sekelompok orang kafir masuk islam, para anak buahnya akan mengikutinya sehingga semakin banyak yang masuk islam. Metode ini juga pernah dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam tatkala pergi ke Thaif karena merasa dakwahnya di Mekah kurang berhasil. Beliau pergi ke Thaif dan mendakwahi para pembesarnya, meskipun kemudian beliau diusir juga dari Thaif. Demikian juga Nabi menyurati para raja untuk masuk Islam.

Tatkala Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam sedang berkonsentrasi mendakwahi para Ubay bin Kholaf -atau yang lainnya-, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ummi Maktum yang buta dan memotong pembicaraan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, dia berkata, “Ya Rasulullah, berikanlah petunjuk kepadaku.” Ini yang membuat Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam bermuka masam karena sedang konsentrasi berdakwah tetapi tiba-tiba dipotong oleh Abdullah bin Ummi Maktum. Akhirnya Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam yang bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum lalu sibuk mendakwahi Ubay bin Khalaf, seorang saudagar kaya raya.

Dalam Qira’ah yang lain dibaca أَأَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى dengan tambahan hamzah istifham sehingga artinya menjadi “apakah ada orang buta yang datang?” Allah Subhanallahu Wata’ala memakai kata “orang buta” bukan menggunakan Abdullah bin Ummi Maktum tapi Allah Subhanallahu Wata’ala katakan “yang buta yang datang” dengan tidak menyebutkan namanya. Ini dalil bahwasanya boleh menyebut aib seseorang bukan dengan tujuan mencela tetapi karena kemaslahatan tertentu. Oleh karena itu, para Ahli hadist menamakan sebagian perawi dengan kecacatan yang ada pada diri mereka, seperti menamakan seorang perawi dengan Al–A’raj yang pincang, dengan tujuan untuk membedakannya dengan perawi lainnya. Ada juga dijuluki dengan Al–A’mash yang pandangan satunya kurang jelas.

Allah Subhanallahu Wata’ala memakai kata الْأَعْمَى (yang buta) karena ada maslahat disitu. Seakan-akan Allah Subhanallahu Wata’ala menyatakan, “Wahai Muhammad, engkau bermuka masam dan berpaling padahal orang yang datang kepadamu adalah orang yang buta. Seharusnya orang buta lebih engkau perhatikan. Dia juga memotong pembicaraanmu karena tidak melihat apa yang sedang engkau lakukan.” Ini adalah teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala atas sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam.

Tetapi perhatikanlah, para ulama menyebutkan bagaimana mulianya Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam di sisi Allah sampai-sampai Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi dengan uslub yang indah. Allah Subhanallahu Wata’ala tidak mengatakan, “engkau bermuka masam dan berpaling”. Padahal Allah sedang berbicara dengan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam Muhammad yang berposisi sebagai orang kedua karena Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam Namun Allah Subhanallahu Wata’ala tidak menggunakan kata ganti orang kedua melainkan orang ke tiga “dia bermuka masam dan dia berpaling”. Ini adalah kelembutan Allah Subhanallahu Wata’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam pernah beberapa kali melakukan kesalahan dan langsung ditegur oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam pernah mengharamkan Madu. Allah Subhanallahu Wata’ala lantas menegurnya dengan mengatakan:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah Subhanallahu Wata’ala halalkan kepadamu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS At-Tahrim : 1)

Dalam kesempatan lain, tatkala ada sebagian orang muslim yang tidak ikut berperang dengan berbagai dalih, Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam memilih bersikap husnuzon dan memaafkan mereka. Sikap Nabi ini ditegur oleh Allah Subhanallahu Wata’ala, Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

عَفَا اللَّهُ عَنكَ لِمَ أَذِنتَ لَهُمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ

“Allah memaafkanmu (Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (berhalangan) dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?” (QS At-Taubah : 43)

Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam adalah manusia maksum yang terjaga dari dosa. Tetapi dalam beberapa situasi mungkin saja beliau keliru. Namun kekeliruan itu tidak akan dibiarkan dan pasti ditegur oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam berijtihad dan ijtihadnya tersebut keliru, kemudian ditegur oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Namun lihatlah Allah Subhanallahu Wata’ala menegur beliau dengan cara yang lembut dengan menggunakan kata ganti ketiga, “dia bermuka masam dan dia berpaling”. Kita kalau marah dengan seseorang akan lebih sering menggunakan kata ganti kedua dengan langsung memarahinya. Dan kebanyakan dari kita jika marah maka kita akan mengamuk terlebih dahulu kemudian baru memaafkan. Tetapi tatkala Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, Allah Subhanallahu Wata’ala mendahuluinya dengan memaafkan. Allah Subhanallahu Wata’ala mengatakan, “Allah memaafkanmu (Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)?” Lihatlah bagaimana Allah Subhanallahu Wata’ala menggunakan uslub yang sangat lembut ketika menegur Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam, karena Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam adalah kholilul rahman (kekasih Allah Subhanallahu Wata’ala).

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

3. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى

“dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa)”

Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam yang tidak menghiraukan Abdullah bin Ummi Maktum. Barangkali dia datang ingin membersihkan dirinya dari dosa. Oleh karena itu, para ulama mengatakan, “Orang yang datang kepadamu untuk mencari ilmu hendaklah dia didahulukan.” Dan inilah yang dilakukan oleh Abdullah bin Ummi Maktum, dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam untuk mencari ilmu, berdasarkan perkataannya, أَرْشِدْنِي “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam berilah petunjuk kepadaku.” (Tafsir At-Thobari 24/102)

Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

4. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى

“atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya”

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan tentang orang yang sombong tadi, Ubay bin Khalaf, Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisyam, dan orang-orang kafir lainnya. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

5. أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى

“Adapun orang yang merasa dirinya tidak butuh (pembesar-pembesar Quraisy)”

6. فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى

“malah engkau memberi perhatian kepadanya”

Allah Subhanallahu Wata’ala menegur cara Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam berdakwah, mengapa orang kafir lagi sombong itu yang tidak butuh dengan dakwah Nabi, tetapi Nabi justru datang mendekatinya, padahal ada orang yang datang langsung kepada Nabi tetapi beliau malah menjauhinya.

7. وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى

“padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak mensucikan diri (beriman)”

Memang secara logika, jika para saudagar kaya raya itu masuk islam maka banyak yang akan mengikutinya, tetapi andai saja dia tetap kafir maka hal itu tidak jadi masalah dan bukan urusan Nabi, karena Nabi hanya berdakwah, perkara hidayah sepenuhnya hanya di tangan Allah Subhanallahu Wata’ala. Tidak ada dosa pada diri Nabi jika mereka tetap kafir.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan tentang ibnu Ummi maktum

8. وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى

“dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran)”

9. وَهُوَ يَخْشَى

“sedang dia takut (kepada Allah)”

Orang-orang kafir itu memiliki sifat merasa tidak butuh dan ini adalah musibah kalau orang sudah merasa tidak butuh, biasanya sifat ini akan melahirkan sifat sombong. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى . أَنْ رَآَهُ اسْتَغْنَى

“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas. Apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS Al-‘Alaq : 6-7)

Tatkala dirinya merasa sudah kaya, dia pun sombong dan kemudian melampaui batas hingga berbuat kedzaliman. Sesungguhnya orang yang merasa cukup, merasa tidak butuh, merasa sombong, merasa angkuh, akan timbul kedzaliman. Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam kenapa malah mendekati orang-orang seperti itu.

Adapun Abdullah bin Ummi Maktum terkumpul pada dirinya 3 sifat:

Pertama, وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ (Dan adapun orang yang datang kepadamu) yaitu Abdullah bin Ummi Maktum datang langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam.

Kedua, يَسْعَى (berusaha) artinya Abdullah bin Ummi Maktum datang dengan semangat. Ini adalah peringatan kepada kita, hendaknya ketika kita beribadah kita melakukannya dengan penuh semangat. Padahal waktu yang digunakan untuk melakukan ibadah tertentu sama saja, yang membedakannya adalah semangatnya dan kekhusyukannya. Bahkan ketika menuntut ilmu, waktu yang kita gunakan untuk belajar dalam suatu kesempatan dengan kesempatan lainnya sama saja, yang membedakannya adalah semangat kita tatkala itu. Karena perbedaan semangat ini bisa menyebabkan pahala yang diraih juga berbeda.

Ketiga, وَهُوَ يَخْشَى (dan dia takut) yaitu Abdullah bin Ummi Maktum takut kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Ini adalah peringatan kepada para penuntut ilmu. Ketika kita menuntut ilmu maka hendaknya disertai dengan rasa takut kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Menuntut ilmu bukan hanya untuk mencari wawasan tetapi untuk menambah rasa takut kita kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Karenanya para salaf mengatakan, “rasa takut merupakan puncak dari ilmu”. Tiga sifat ini terkumpul pada diri Abdullah bin Ummi Maktum sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

10. فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى

“engkau (Muhammad) malah mengabaikannya”

Ini adalah teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam. Diriwayatkan, setelah kejadian itu jika Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam, maka beliau menyambutnya dengan mengatakan

مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي فِيهِ رَبِّي

“Marhaban (selamat datang) orang yang Robbku menegurku karenanya”

Beliau juga berkata kepadanya هَلْ لَكَ مِنْ حَاجَةٍ؟ “Apakah ada keperluanmu?” (Tafsiir Al-Baghowi 8/332)

Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum. Bahkan disebutkan dalam sejarah, dalam dua kali peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam menjadikan Abdullah bin Ummi Maktum sebagai kepala Madinah atau yang menguasai kota Madinah ketika Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam meninggalkan Madinah. Seharusnya yang mengurusi kota Madinah bukanlah orang buta tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam mempercayakan posisi itu kepada Abdullah bin Ummi Maktum tatkala Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam berperang di luar dari kota Madinah. Ini menunjukkan pemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam terhadap Abdullah bin Ummi Maktum. (lihat Tafsir At-Thobari 24/104 dan Tafsir al-Baghowi 8/332). Demikian juga Nabi menjadikan beliau sebagai tukang azan subuh yaitu azan yang kedua padahal beliau tidak bisa melihat fajar. Beliau hanya bisa azan kalau ada yang memberitahu bahwa fajar sudah terbit. (Tafsiir Ibnu Katsiir 8/321). Padahal yang lebih utama yang azan adalah yang bisa melihat fajar dan bukan orang buta. Namun ini semua dilakukan oleh Nabi dalam rangka menghargai Ibnu Umi Maktuum.

Apabila kita memperhatikan ijtihad Nabi sshallallahu ‘alaihiwassallam, sesungguhnya beliau tidaklah salah total. Andaikan kita menjadi beliau, pertama kita ingin mendakwahi orang yang kaya dan kita berharap kalau dia masuk islam akan banyak orang yang mengikutinya, kedua Abdullah bin Ummi Maktum sudah islam sehingga walaupun tidak didakwahi saat itu juga dia akan tetap islam, bisa ditunda di lain waktu. Namun bersamaan dengan itu, ijtihad Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam tetap ditegur oleh Allah Subhanallahu Wata’ala. Karena Abdullah bin Ummi Maktum datang langsung menghadap Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam, dia juga buta, dan dia adalah orang yang takut kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan ilmu daripada orang yang sombong dan angkuh seperti Ubay bin Khalaf.

Dari sini dapat diambil faedah bahwasanya dalam berdakwah hendaklah tidak pandang bulu bagaimanapun obyek dakwahnya, antara orang kaya ataupun orang miskin. Meskipun mendakwahi orang kaya memiliki maslahat yang besar tetapi tidak boleh sampai melalaikan dakwah kepada orang miskin. Bisa jadi ada sebagian dai yang hanya perhatian dengan orang kaya, jika yang mengundangnya adalah orang miskin maka dia tidak akan datang karena pemberiannya sedikit. Orang seperti ini tidak mencari akhirat dalam dakwahnya. Pada asalnya tidak masalah ketika melakukan variasi di dalam dakwah, semisal berdakwah di kantor-kantor, berdakwah di kalangan orang-orang kaya namun orang miskin juga tidak boleh dilupakan. Karena salah satu tujuan utama kita berdakwah adalah agar bisadiamalkan oleh orang lain. Terkadang jika kita berdakwah dengan orang kaya, terkadang dia datang dengan keangkuhan dan sombong sehingga kadang tidak ingin mendengarkan kebenaran yang kita sampaikan. Berbeda dengan orang miskin dia datang dengan tujuan agar bisa mengamalkan ilmu tersebut, sehingga pahalanya akan ikut mengalir kepada kita.

Ayat ini juga merupakan dalil bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam adalah orang yang paling amanah. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam boleh menyembunyikan satu surat saja dalam Al-Qur’an niscaya Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam akan menyembunyikan surat ‘Abasa. Ditambah surat ini tidaklah turun kecuali kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Selain itu, Abdullah bin Ummi Maktum tatkala datang, dia tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam bermuka masam karena dia buta. Seandainya tidak buta, wajah Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam juga tidak akan terlihat karena beliau memalingkan mukanya, yang tahu hanyalah Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam dan Allah Subhanallahu Wata’ala. Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam menyampaikan seluruh yang Allah Subhanallahu Wata’ala sampaikan kepadanya, meskipun dalam surat tersebut ada teguran untuk dirinya.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

11. كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ

“sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan”

Firman Allah كَلَّا bisa datang dalam dua makna, terkadang artinya لاَ “Tidak” (yang disebut oleh para ulama dengan kalimat zajr) dan terkadang artiya حَقًّا “Sungguh benar” [2]. Para ulama berbeda pendapat ke dalam dua tafsiran tentang makna “peringatan”. Apakah ini adalah teguran/peringatan Allah Subhanallahu Wata’ala secara khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam Muhammad atau teguran/peringatan secara umum. Bagi yang berpendapat ini adalah teguran kepada Nabi, maka كَلَّا maknanya adalah لاَ “Tidak”, sehingga firman Allah كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ artinya yaitu “sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, itu suatu peringatan”. Seakan-akan Allah berkata, “Sekali-kali jangan begitu wahai Muhammad, janganlah engkau semangat kepada orang kaya yang kafir sementara engkau berpaling dari orang mukmin yang miskin”.[3]

Bagi yang berpendapat bahwa peringatan ini umum kepada kaum muslimin maka كَلَّا maknanya adalah حَقًّا “Sungguh benar”. Maka arti firman Allah كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ adalah “Sungguh benar, sungguh ini adalah peringatan”, sehingga jadilah ayat ini peringatan kepada kaum muslimin secara umum. Dan ini adalah pendapat Ibnu Katsir, beliau berkata :

كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ أَيْ هَذِهِ السُّورَةُ أَوِ الْوَصِيَّةُ بِالْمُسَاوَاةِ بَيْنَ النَّاسِ فِي إِبْلَاغِ الْعِلْمِ مِنْ شَرِيفِهِمْ وَوَضِيعِهِمْ

“Yaitu surat ini atau washiat untuk menyamakan manusia antara pembesar maupun yang miskin dalam hal penyampaian ilmu” (Tafsir Ibnu Katsir 8/322) [4]

Apa yang dilakukan oleh Nabi ini adalah تَرْكُ الْأَوْلَى “meninggalkan suatu yang lebih utama”[5] (lihat Tafsir al-Qurthubi 19/215)

12. فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ

“maka barang siapa menghendaki, tentulah dia akan memperhatikan-nya”

Barang siapa -diantara hamba Allah- yang mau maka akan mengambil pelajaran dari-nya yaitu Al Qur’an. Bagi yang tidak mau mengambil pelajaran maka silahkan. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS Al-Kahfi : 29)

Tidak akan bertambah kekuasaan Allah Subhanallahu Wata’ala karena keimanan seseorang dan tidak akan berkurang pula kekuasaan Allah Subhanallahu Wata’ala karena kekafiran sesesorang. Ada dan tiadanya makhluk tidak akan mempengaruhi ke-Maha Mulia-an Allah Subhanallahu Wata’ala. Allah Subhanallahu Wata’ala mengatakan dalam sebuah hadist qudsi:

يَاعِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا, يَاعِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَانَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا

“Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka itu semua sedikit pun tidak menambah kerajaan-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling jahat, maka itu semua sedikit pun tidak mengurangi kerajaan-Ku.” (HR Muslim no. 2577)

Kemudian setelah itu Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan keagungan al-Qur’an dengan berfirman :

13. فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ

“dia (al-Qur’an) dalam lembaran-lembaran/kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah)”

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “shuhuf” adalah al-Lauh al-Mahfuuz, dan ada yang berpendapat as-Shuhuf adalah kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi. Sebagaimana firman Allah :

إِنَّ هَذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُولَى صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى

“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa” (QS Al-A’la 18-19)

14. مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ

“yang ditinggikan (dan) disucikan”

Sebagian ulama mengatakan bahwa Allah Subhanallahu Wata’ala sedang berbicara tentang Al Qur’an. Yang ditinggikan yaitu kedudukannya yang tinggi di sisi Allah Subhanallahu Wata’ala dan disucikan yaitu tidak ada penyimpangan dalam Al Qur’an, juga tidak ada kebatilan, tidak pula perubahan, semuanya disucikan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala.

Sebagian ulama juga mengatakan bahwa ini adalah dalil meskipun tidak langsung hendaknya Al Qur’an diletakkan di atas barang-barang lainnya bukan di bawah, karena Allah Subhanallahu Wata’ala mengatakan مَرْفُوعَةٍ yaitu Al Quran itu terangkat. Meskipun konteks ayat ini berkaitan dengan Al Qur’an yang ada di lahumul mahfudz yang dimuliakan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala, tetapi tidak ada salahnya tatkala kita di dunia mempraktekkan adab dengan cara meletakkan Al Qur’an di atas bukan di bawah. Hal ini karena Al Quran berisi firman-firman Allah Subhanallahu Wata’ala yang suci dan mulia.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :

15. بِأَيْدِي سَفَرَةٍ

“di tangan para utusan (malaikat)”

16. كِرَامٍ بَرَرَةٍ

“yang mulia lagi berbakti”

Malaikat adalah makhluk Allah Subhanallahu Wata’ala yang tidak pernah bermaksiat. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :

لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka tidak pernah membangkang perintah Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS At-Tahrim : 6)

Setelah itu, berlanjut ke pembahasan selanjutnya. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

17. قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ

“celakalah manusia, apa yang membuat dia kafir?”

Pada kalimat مَا أَكْفَرَهُ terdapat مَا yang dalam bahasa arab, pada ayat ini ada mengandung dua kemungkinan. Pertama, مَا yang artinya istifhamiah sehingga مَا أَكْفَرَهُ artinya adalah “apa yang membuat manusia kafir?”. Kedua, مَا takjubiah sehingga مَا أَكْفَرَهُ artinya adalah “sungguh besar kekafirannya.” Dan dua-duanya mungkin untuk menjadi tafsir dari ayat ini. Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin bisa menafsirkan Al Qur’an kecuali jika dia telah menguasai bahasa arab, dan ilmu-ilmu lainnya, dia harus kuasai pula. Seperti ilmu musthalah hadist karena dia harus mengerti mana riwayat-riwayat yang shahih dan mana riwayat-riwayat yang lemah. Dia juga harus memahami dengan baik nahwu, sharaf, dan ilmu bahasa. Terlebih lagi ilmu tafsir itu sendiri harus dia kuasai. Sehingga sungguh sangat mengherankan jika ada orang yang menafsirkan ayat Al Quran seenaknya sendiri, menafsirkan firman Allah Subhanallahu Wata’ala tanpa ada ilmu. Ini adalah tindakan yang sangat berbahaya.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala mengajak manusia merenungkan mengapa mereka sombong dan kafir kepada Allah Subhanallahu Wata’ala. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :

18. مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ

“Dari manakah Dia (Allah) menciptakannya?”

19. مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ

“dari setetes mani, Dia menciptakannya lalu menentukannya”

Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman dalam ayat yang lain :

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ، خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ

“Hendaknya manusia merenungkan darimana dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar.” (QS At-Tariq : 5-6)

Allah Subhanallahu Wata’ala juga berfirman dalam ayat yang lain :

أَلَمْ نَخْلُقكُّم مِّن مَّاءٍ مَّهِينٍ

“Bukankah Kami menciptakanmu dari air yang hina (mani).” (QS Al-Mursalat : 20)

Hasan Al-Basri pernah mengatakan,

كَيْفَ يَتَكَبَّرُ مَنْ خَرَجَ مِنْ سَبِيلِ الْبَوْلِ مَرَّتَيْنِ

“Bagaimana bisa sombong orang yang keluar dari jalur air kencing sebanyak 2 kali” (Tafsir Al-Qurthubi 19/218).

Pertama dia keluar dari kemaluan ayahnya berupa air mani dan kedua ketika dilahirkan dia keluar dari kemaluan ibunya tempat keluarnya air kencing, tetapi dia masih saja sombong dan congkak hingga tidak mau beribadah kepada Allah Subhanallahu Wata’ala.

Adapun firman Allah فَقَدَّرَهُ “lalu menentukannya”, yaitu menentukan taqdirnya apakah dalam perut ibunya, apakah pendek atau tinggi, ganteng atau tidak ganteng, celaka atau bahagia. Atau arti “menentukannya” yaitu menyempurnakan penciptaannya, dengan membentuk anggota tubuhnya dalam perut ibunya, atau artinya menentukannya dalam tingkatan-tingkatan pembentukannya dari air mani, segumpal darah, segumpal daging, hingga menjadi bentuk yang sempurna.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :

20. ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ

“kemudian jalannya Dia mudahkan”

Dalam bahasa arab terdapat istilah yang juga dikenal dengan kata sambung sebagaimana dalam Bahasa Indonesia. Semisal huruf wa artinya dan, tsumma artinya kemudian, fa artinya lalu. Kalau wa dalam bahasa arab tidak menunjukkan tertib. Contohnya kalimat “Ja’a khalidun wa ‘Umar”, (datang Khalid dan ‘Umar) maka belum tentu Khalid yang datang terlebih dahulu dibanding ‘Umar bisa jadi ‘Umar lebih dahulu daripada khalid. Jika menggunakan kalimat fa yang artinya lalu, contoh “Ja’a khalidun fa ‘Umar” (datang Khalid lalu ‘Umar), maka Khalid datang lebih dahulu lalu ‘Umar. Hanya saja jarak kedatangannnya tidak ada jarak, Khalid datang langsung diikuti dengan kedatangan ‘Umar. Adapuin jika kedatangan Khalid ada jarak yang lama dengan kedatangan ‘Umar maka kalimatnya dalam bahasa arab yaitu “Ja’a Khalid tsumma ‘Umar” (datang Khalid kemudian datang ‘Umar). Jadi, dalam bahasa Arab dibedakan, kalau wa sekedar mengumpulkan, kalau fa tertib tetapi tidak ada jarak waktu, kalau tsumma tertib dan ada jarak waktu.

Kemudian kita perhatikan dalam surat ini berfirman,

مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ

“dari setetes mani, Dia menciptakannya lalu menentukannya”.

Kata para ulama, apabila air mani sudah bersatu dengan sel telur wanita maka akan langsung terjadi proses dalam tubuh manusia tanpa mengalami penundaan waktu yang. Sehingga Allah Subhanallahu Wata’ala menggunakan huruf fa’ [6]. Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala mengatakan,

ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ

“kemudian jalannya Dia mudahkan”

yaitu menjalani proses di perut ibunya baru kemudian dia lahir setelah dikandung selama 9 bulan. Sehingga Allah Subhanallahu Wata’ala menggunakan huruf ثُمَّ “kemudian”.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :

21. ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ

“kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya”

Memang demikianlah yang terjadi, setelah dia keluar dari perut ibunya dia tidak langsung mati melainkan hidup dulu, entah 30th, 50th, 100th dan seterusnya. Setelah lama hidup di bumi Allah Subhanallahu Wata’ala membuat dia meninggal kemudian menguburkannya.

Allah Subhanallahu Wata’ala menggunakan huruf فَ ”lalu menguburkannya” yang kata para ulama ini adalah dalil bahwasanya penguburan mayat jangan ditunda-tunda.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

22. ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ

“kemudian jika Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali”

23. كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ

“sekali-kali tidak, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya”

Ada yang menafsirkan ayat ini bahwa sang manusia yang kafir tidak melaksanakan perintah Allah kepadanya. Dan ada yang menganggap ayat ini umum mencakup mukmin juga, sehingga artinya bagaimanapun seorang manusia berusaha, dia tidak akan bisa melaksanakan seluruh perintah Allah Subhanallahu Wata’ala. Bagaimanapun seorang manusia itu bertakwa pasti ada perintah Allah Subhanallahu Wata’ala yang terluputkan darinya. Mujahid berkata:

لَا يقضي أحدٌ أَبَدًا كُلَّ مَا افْتُرِضَ عَلَيْهِ

“Tidak seorangpun bisa menjalankan seluruh yang diwajibkan kepadanya, selamanya” (Tafsir Ibnu Katsir 8/324)

Kemudian setelah Allah Subhanallahu Wata’ala mengajak manusia untuk merenungkan penyebab mengapa para manusia kafir, apakah yang membuat mereka sombong, padahal hendaknya mereka melihat hakekat penciptaan mereka yaitu dari air yang hina. Allah Subhanallahu Wata’ala kembali mengajaknya untuk merenungkannya sementara seluruh kenikmatan telah Allah Subhanallahu Wata’ala sediakan.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

24. فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ

“maka hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya”

Hendaknya dia merenungi makanan yang dia makan, dari mana dia mendapatkan makanan tersebut, apakah dia punya andil sehingga makanan tersebut ada. Tentu saja jawabannya tidak, semua dari Allah Subhanallahu Wata’ala. Buah apel itu dari mana? Bijinya dari mana? Dari Allah Subhanallahu Wata’ala. Ditanam dimana? Di tanahnya Allah Subhanallahu Wata’ala. Yang memberi pengairan siapa? Allah Subhanallahu Wata’ala. Semuanya adalah andil dari Allah Subhanallahu Wata’ala.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

25. أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبّاً

“Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit)”

26. ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقّاً

“kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya”

27. فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبّاً

“lalu disana Kami tumuhkan biji-bijian”

28. وَعِنَباً وَقَضْباً

“dan anggur dan sayur-sayuran”

Sebagaimana yang telah berlalu pada tafsir sebelumnya, Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan biji-bijian karena berkaitan dengan makanan pokok seperti jagung, atau beras, atau gandum. Kesemuanya adalah makanan pokok yang tidak seorang pun tidak mungkin meninggalkannya. Adapun buah dan sayur-sayuran, seseorang masih bisa hidup tanpa makan buah-buahan dan sayur-sayuran.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

29. وَزَيْتُوناً وَنَخْلاً

“dan zaitun dan pohon kurma”

Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan tentang zaitun karena faidahnya yaitu selain bisa dimakan sebagai buah, juga bisa dijadikan sebagai minyak dan obat. Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan pohon kurma karena kurma bisa menjadi makanan pokok, juga bisa menjadi buah-buahan. Kurma juga bisa menjadi makanan yang disimpan.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

30. وَحَدَائِقَ غُلْباً

“dan kebun-kebun yang lebat”

31. وَفَاكِهَةً وَأَبّاً

“dan buah-buahan serta rerumputan”

32. مَتَاعاً لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ

“(Semua itu) untuk kesenangan kalian dan untuk hewan-hewan ternak kalian”

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala menutup surat ‘Abasaa dengan menjelaskan tentang dahsyatnya hari kiamat. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

33. فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ

“maka apabila dating suara yang memekakkan (tiupan sangkakala)”

الصَّاخَّةُ artinya suara yang sangat keras dan memekikkan telinga, sehingga tatkala ditiupkan suara tersebut semua orang akan meninggal. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَن شَاءَ اللَّهُ ۖ

“Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali mereka yang dikehendaki Allah.” (QS Az-Zumar : 68)

Suara yang sangat keras bisa membuat seseorang tuli bahkan bisa membuat orang sampai meninggal dunia. Karenanya kaum Nabi Shaleh disiksa oleh Allah Subhanallahu Wata’ala dengan suara yang menggelegar seperti guntur hingga membuat mereka tewas. Suara tersebut tidak pernah kita dengar, zaman sekarang tidak ada orang yang meninggal karena guntur. Tetapi tatkala volume suaranya dibesarkan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala maka semua bisa mati, sebagaimana kaum Nabi Shaleh yaitu kaum Shamud.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

34. يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ

“pada hari tu manusia lari dari saudaranya”

Dalam ayat ini Allah Subhanallahu Wata’ala menggambarkan bagaimana kedahsyatan hari kiamat sampai-sampai seseorang akan lari dari orang yang paling dia cintai karena saking tidak pedulinya. Allah Subhanallahu Wata’ala mengatakan :

35. وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ

“dan dari ibu dan ayahnya”

36. وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ

“dan dari istri dan anak-anaknya”

Ibunya, ayahnya, bahkan istri dan anak-anaknya yang selama ini dia bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang untuk menyenangkan buah hatinya tersebut juga akan ditinggalkan pada hari tersebut. Karena setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

37. لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ

“setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya”

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap orang akan mengingat seluruh kemaksiatan yang pernah dia lakukan selama di dunia. Dia tahu bahwa dia akan disidang oleh Allah Subhanallahu Wata’ala, sehingga bagaimana dia tidak akan takut tatkala hari itu tiba. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam menggambarkan tentang bagaimana manusia dibangkitkan pada hari kiamat. Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam bersabda:

إِنَّكُمْ مَحْشُورُونَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا ثُمَّ قَرَأَ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ ۚ وَعْدًا عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ

“Sungguh kalian akan dibangkitkan dalam keadaan tidak memakai alas kaki, telanjang dan belum dikhitan,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya.” [QS Al–Anbiya : 104]. (HR Bukhari no. 3349, 6526)

Tatkala seseorang lahir dari perut ibunya, dia dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, belum disunat, tidak membawa apa-apa. Demikian pula ketika manusia dibangkitkan kelak, meskipun dia sudah dewasa tetapi kondisinya telanjang, tidak memakai alas kaki, belum disunat, dan tidak akan membawa sepeser hartapun dari seluruh harta yang dia kumpulkan selama di dunia. Oleh karena itu, ketika mendengar hadist ini, ‘Aisyah radianllahu ‘anha bertanya:

“Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam apakah para lelaki dan para wanita dibangkitkan bersama-sama dalam keadan telanjang dalam keadaan belum disunat? Bukankah sebagian dari mereka akan melihat aurat yang lain?, kata Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam: perkaranya sangat dahsyat, sampai-sampai seorang tidak berfikir aurat orang lain”.

Memang demikianlah kenyataannya, apabila telah terjadi seseuatu yang mengerikan maka kita akan lupa kondisi kita. Apalagi pada hari kiamat kelak yang sangat dahsyat, yang masing-masing sibuk dengan urusannya.

Kemudian pembahasan selanjutnya Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan kondisi-kondisi manusia setelah hari kebangkitan. Ada manusia-manusia yang bahagia dan ada manusia-manusia yang celaka. Ketahuilah bahwasanya di akhirat kelak tidak akan ada golongan, tidak pula jabatan, melainkan hanya ada dua golongan saja yaitu penghuni surga atau penghuni neraka. Kelompok pertama adalah kelompok yang bahagia. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

38. وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ

“pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri”

39. ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ

“tertawa dan gembira ria”.

Mereka adalah para penghuni surga. Mereka lah orang-orang yang beriman. Mereka akan meraih janji-janji yang mereka baca dalam Al Quran dan hadist-hadist Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam tentang surga dan kenikmatannya.

40. وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ

“dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup dengan debu (suram)”

Yaitu wajah-wajahnya orang kafir. Ada yang mengatakan bahwa debu-debu tersebut berasal dari hewan-hewan yang telah disebutkan dalam tafsir surat ‘amma yatasaaluun. Sesungguhnya hewan yang telah di qishas oleh Allah Subhanallahu Wata’ala akan berubah menjadi tanah, tanah-tanah itu kemudian terhamparkan ke wajah orang-orang kafir (lihat Tafsiir Al-Qurthubi 19/226). Ada yang mengatakan bahwa di padang mahsyar kelak orang-orang kafir tatkala matahari turun dengan jarak 1 mil, keringat mereka sangat bercucuran. Dan keringat yang bercucuran ini bergantung pada keimanan, jika imannya tinggi maka semakin rendah cucuran keringat tersebut akan tetapi semakin banyak maksiat maka keringatnya bercucuran ke atas bahkan sampai menutup wajahnya. Terutama orang kafir keringat mereka menutupi wajah mereka.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

41. تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ

“tertutupi oleh kegelapan”

Wajah mereka selain berdebu juga gelap hitam mengerikan. Ini semua menunjukkan penghinaan Allah Subhanallahu Wata’ala atas mereka.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:

42. أُولَئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ

“mereka itulah orang-orang kafir yang fajir”

Allah Subhanallahu Wata’ala menggabungkan kata kufur dengan fujur. الْكَفَرَةُ adalah orang-orang kafir yang melakukan kekufuran dalam hal keyakinan. Mereka mempunyai keyakinan yang salah tentang Allah Subhanallahu Wata’ala, tidak beriman akan hari kiamat, berkeyakinan syirik kepada Allah Subhanallahu Wata’ala, meyakini Allah Subhanallahu Wata’ala satu dari yang tiga, meyakini ada sesembahan selain Allah Subhanallahu Wata’ala. Adapun الْفَجَرَةُ adalah kemaksiatan yang berkaitan dengan anggota tubuh misalnya mendzhalimi orang lain, berzina, menipu orang lain, dan lain-lain, semua ini berkaitan dengan kefajiran. Dan ini terkumpulkan pada diri orang-orang kafir tersebut.

FOOTNOTE:

[1]. Adapun Ubay bin Kholaf maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوراً وَبُرْهَاناً وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلاَ بُرْهَانٌ وَلاَ نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَىِّ بْنِ خَلَفٍ

“Siapa yang menjaga shalat lima waktu, baginya cahaya, bukti dan keselamatan pada hari kiamat. Siapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak mendapatkan cahaya, bukti, dan juga tidak mendapat keselamatan. Pada hari kiamat, ia akan bersama Qorun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad 2: 169. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Terkait hadits ini maka para ulama menjelaskan mengapa empat orang gembong kekufuran ini disebutkan dalam hadits. Bahwasanya barangsiapa yang meninggalkan shalat karena singgasananya maka dia akan dikumpulkan bersama Fir’aun yang kafir kepada Allah Subhanallahu Wata’ala karena singgasananya. Barang siapa yang meninggalkan shalat karena kedudukan, pangkat, dan jabatannya maka dia akan dikumpulkan bersama haman panglimanya Fir’aun. Barang siapa yang meninggalkan shalat karena sibuk dengan hartanya yang begitu banyak maka dia akan dikumpulkan bersama Qorun, yang telah terlalaikan oleh banyaknya hartanya. Barang siapa yang meninggalkan shalat karena berdagang sehingga dia lalai maka dia akan dikumpulkan bersama Ubay Bin Khalaf, pedagang besar dari orang-orang Quraish

[2]. Lihat penjelasan Al-Qurthubi dalam tafsirnya 11/147 ketika mentafsirkan ayat 79 dari surat Maryam

[3]. Dan ini adalah pendapat mayoritas mufassirin diantaranya Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya (24/107),

[4]. Dan ini pendapat yang dipilih oleh As-Sa’di dalam tafsirnya. Namun kedua pendapat ini tidak bertentangan karena jika memang teguran tersebut peringatan khusus untuk Nabi, toh menjadi pelajaran bagi umatnya secara umum.

[5]. Meskipun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa sikap Nabi tersebut adalah dosa kecil (lihat Tafsiir al-Qurthubi 19/215), karena para Nabi tidak makshum dari dosa-dosa kecil, namun pasti langsung ditegur oleh Allah, sebagaimana dalam kasus ini. Namun pendapat yang menyatakan bahwa sikap Nabi tersebut adalah sikap تَرْكُ الْأَوْلَى “meninggalkan yang lebih utama” itu lebih baik dan lebih hati-hati. Dan ini pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaukani (Fathu Qodiir 5/463)

[6]. Ini tentu bagi pendapat yang mengartikan “menentukan” artinya menentukan pembentukan tubuh sang janin atau dari proses air mani hingga menjadi tubuh yang sempurna -sebagaimana telah lalu-.

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/2784-tafsir-surat-abasa-tafsir-juz-amma.html